Oleh Taufiq Ismail
Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang
di bahu 1600 trilyun rupiahnya.
Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.
Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.
Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.
Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.
Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.
Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.
Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling
yang istiqamah?
Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.
Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?
Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.
Kaki kini jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.
Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.
Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti diding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.
Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?
Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?
Percuma
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan Insya Allah tak akan terselesaikan.
Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga.
Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.
Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.
Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.
Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit- langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan
lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai.
Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.
Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.
“Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!” teriak mereka.
“Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!” bantahku.
Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam.
Aku melarikan diri kencang-kencang.
Mereka mengejarkan lebih kenjang lagi.
Mereka menangkapku.
“Ambil bensin!” teriak seseorang.
“Bakar Rayap,” teriak mereka bersama.
Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.
Seseorang memantik korek API.
Aku dibakar.
Bau kawanan rayap hangus.
Membubung Ke udara.